Beberapa hari lagi waktunya pembagian SPR (Student Progress Report) si abang. Kalau orangtua lain merasa deg-degan, takut nilai anak-anaknya mengecewakan, alhamdulillah, saya dan ayahnya selalu santai menghadapinya. Bukan karena yakin nilai-nilainya pasti bagus, tapi karena kami meyakini, nilai itu bukan tujuan akhir yang kami harap anak kami dapatkan dari sekolah. Proses pembelajarannya dan kemampuannya mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya di sekolah ke dalam kehidupan sehari-hari, itu yang kami jadikan sebagai tolak ukur keberhasilannya.
Bangga tentu saja kami rasakan bila anak berhasil mendapatkan nilai straight A untuk semua mata pelajaran. Tapi apa artinya nilai yang bagus, bisa hafal al quran, sementara di rumah anak misalnya, tidak bisa makan sendiri, suka memukul dan berkata kasar, atau masih suka ngompol saat tidur?
Selain itu, saya kan juga pernah mengalami masa-masa nakalnya anak-anak. Dulu, saya suka bolos sekolah kalau merasa bosan. Biasanya kalau bolos, saya akan di rumah seharian untuk tidur-tiduran sambil membaca novel. Jadi kalau sekarang anak-anak ingin take a day off from school, I wouldn't mind. Really. Selama waktunya dihabiskan untuk hal-hal yang positif.
Rasanya tidak adil kalau kita sebagai orangtua mengharapkan anak-anak kita menjadi anak super. Dimasukkan ke sekolah bilingual dan berharapkan bisa casciscus bahasa Inggris, tetapi ibunya sendiri tidak lancar berbahasa Inggris. Saya tidak menyalahkan orangtua yang punya cita-cita setinggi langit untuk anaknya. Tapi jangan sampai obsesi orangtua membuat anak merasa tertekan atau bahkan depresi.
Seseorang yang saya kenal, selalu mendampingi anaknya belajar. Setiap kali anaknya melakukan kesalahan saat membuat PR atau terlihat malas-malasan, maka cubitan dan teriakan sudah menjadi hal lumrah dirasakan oleh si anak. "Dulu waktu kecil, kamu pasti juara kelas ya?" tanya saya pada si ibu. "Tidak. Justru itulah, saya ingin anak saya lebih berhasil dari saya" jawabnya.
Apakah tidak sebaiknya si ibu itu realistis dengan kemampuan anaknya, tetapi tetap memotivasi sambil terus mencari potensi bakat dan kemampuannya? Maksud saya dengan realistis di sini adalah, menerima bila si anak tidak berprestasi pada satu bidang tertentu. Sekarang ini, sepertinya orangtua cenderung berpikir bahwa pintar di pelajaran matematika is a must! Begitu juga dengan lancar berbahasa asing. Bagaimana kalau ternyata si anak lebih tertarik di bidang seni? Pintar membuat puisi dan mengarang cerita? Apakah itu bukan suatu prestasi juga?
Saya 100% setuju dengan sekolah yang tidak menerapkan sistem ranking dan tidak memberikan PR pada muridnya. Tanpa adanya ranking, membuat anak dapat berkata, temanku si A pintar science, si B jagonya math, dan aku paling suka pelajaran art! Tidak adil mengharapkan anak kita menguasai segala bidang kan? Be realistic!
Pelajaran di sekolah sekarang bukan main susahnya. Si abang kelas 3 SD sudah belajar membanding sistem pencernaan ayam dengan ular di mata pelajaran science (in english!). Sementara saya mendapat pelajaran tersebut, kalau tidak salah ingat, saat saya SMP. Jadi dengan kurikulum yang semakin tidak masuk akal, ditambah lagi sekolah yang trilingual (bahasa-english-arabic), dan jam sekolah yang sampai sore (jam 1430), saya sungguh tidak tega membebaninya lebih berat lagi.
School time should be fun! Who's with me? ;)
* repost from my honey’s blog
No comments:
Post a Comment
Please feel free to comment....