Monday 16 August 2010

The Woman behind Man's success

Ketika seorang wanita memilih untuk mendedikasikan dirinya untuk keluarga, saat itulah seorang lelaki akan lebih menemukan jati diri yang sesungguhnya.

Tidak akan banyak wanita yang akan melakukan hal di atas. Merelakan fisik, pikiran dan hatinya hanya untuk keluarga. Belum lagi bila wanita itu sudah "berpendidikan".

Satu hal yang sangat jarang, saya alami sendiri. Saya percaya bahwa kondisi seperti ini bisa masuk kategori sebuah fenomena.

Saya percaya, tidak akan banyak wanita yang bersedia untuk meninggalkan jabatannya, latar belakang keluarga dan pendidikannya dan intelejensi-nya demi mengurus keluarga.
Tapi yang satu ini memang spesial.

Bila ada ungkapan bahwa diibalik sukses seorang lelaki, akan ada seorang wanita hebat di belakangnya.

Saya sangat percaya itu, dan memang sudah saya alami sendiri.

Ini bukan sebuah cerita epic tentang wanita yang begitu cerdas, mempunyai pengetahuan luas, berpendirian teguh, tegar seperti karang. Dengan sepenuh hati, dirinya telah memilih (bukan terpaksa) untuk mengurus keluarga dari rumah.

Dengan latar belakang finansial dan pendidikan, tidak ada rasa sungkan untuk menjalani kehidupan sebagai "rakyat jelata." Bila ia mau, bisa saja ia hidup dengan silver spoon. Bila ia mau, bisa saja dia berkarir. Lebih dari satu dekade lalu saja, ketika ia memutuskan untuk "berkarir" di rumah, ia sudah memegang jabatan sebagai Manager Accounts & Finance. Baginya, gelar pasca-sarjana dari luar negeri, merupakan "ambisi" dari orang tuanya. Dia sendiri tidak berminat untuk menjalaninya. Tetapi sebagai bentuk pengabdian kepada orang-tuanya, ia ikuti dan lulus dengan baik.

Ya, istri saya merupakan sebuah sosok yang sangat kagumi. Dia bisa memegang peran ganda. Dia bisa menjadi sebuah sosok yang tangguh. Perjalanan jauh, baik menyetir mobil, maupun naik pesawat ke luar negeri, hanya sendiri dengan mengurus 3 anak. Luar biasa! Adakah dari anda yang mampu melakukannya?

Hal di atas sepertinya menjadi sebuah pertanyaan retoris.

Faktanya, mengurus rumah berlantai dua, tiga anak (termasuk satu yang masih batita)... Tanpa asisten... Luar biasa! Adakah dari anda yang mampu melakukannya?

Ada yang mengatakan kepada saya... Ya, kalau emang sumber pendapatannya sudah cukup, istri di rumah mah, biasa aja...

Mmmmmmhhh.......

Saya melihat jawaban di atas menjadi sebuah excuse atas pembenaran bahwa seorang perempuan (istri) yang bekerja karena faktor ekonomi belaka. Padahal, mayoritas istri (beranak) yang bekerja mengeluarkan sebagian besar penghasilannya untuk asisten, ongkos dan (mungkin) hura2 dengab rekan kerjanya.

Di situasi lain, di suatu masa istri yang bekerja tadi, bila suatu ketika asisten-nya tidak bisa bekerja (atau cuti lebaran), paniknya minta ampun.... Jadi upik abu-lah... Dsb berbagai alasan dikeluarkan sebagai excuse pembenaran kembali.

Saya ingin meluruskan bahwa, ketetapan hati istri saya untuk memilih (kembali saya tegaskan, bukan terpaksa) untuk mengurus keluarga di rumah, bukan karena saya (selaku pencari nafkah) sudah berada di kondisi yang mapan. Justru karena kami saat itu masih berada di bawah garis "kewajaran", kami justru berpikir lebih rasional. Pos-pos pengeluaran yang tidak mampu kami biayai, kami tekan atau kami hilangkan. Alhamdulillah, policy yang tetap kami pegang hingga sekarang pun berbuah manis.

Mungkin terdengar kejam... Mana ada sich hari gini, orang tua yang tiap minggu ngga ngajak anak-anaknya ke mal?

Atau pertanyaan yang lebih sederhana lagi... Adakah orang tua yang berhasil menjauhkan pengaruh buruk televisi ke anak2nya?

Kedua pertanyaan di atas, dapat saya jawab dengan mudah. Alhamdulillah, anak2 kami lebih senang berlari-lari, berkeringat, berkejar-2an di tanah lapang, dibanding menghambur2kan uang di mal. Alhasil. Monas, Taman Lembang atau Senayan merupakan tempat favorit kami untuk menghabiskan akhir pekan. Dan mereka sangat menikmatinya...

Bukannya itu yang terpenting?

Tujuan kita adalah untuk membahagiakan anak2?

Alhamdulillah, anak2 kami menjadi anak yang pengertian dan prihatin. Tidak ada selebrasi percuma yang kami lakukan. Di hari milad pun, kami lebih senang mengajak mereka untuk berbagi dengan saudara2 mereka yang kurang beruntung.

Darimana ini semua terjadi?

Kebijakan dan aturan yang kami buat membutuhkan sebuah pengawasan yang sangat ketat. Untuk itu dibutuhkan sebuah sosok yang sempurna untuk melaksanakan tugas mulia ini. Tugas untuk menciptakan anak2 yang saleh, berbudi pekerti mulia, sopan, mempunyai empati terhadap lingkungan dan terakhir cerdas.

* kayaknya hari ini, banyakan yang lebih mementingkan point terakhir...
* kembali berpikir, apakah anak cerdas itu merupakan bakat atau karena ambisi orang tua ya ???

Sosok istri saya yang telah menemani sejak masa-masa awal yang penuh perjuangan, hingga kini yang masih terus berjuang, menjadikannya ibarat prosessor komputer yang multi-task. Bagi saya, dirinya adalah sosok guru, pendidik, motivator, pendengar yang baik bahkan menjadi sebuah ensiklopedia berjalan.

Dia menjadi sosok yang selalu ada mendampingi saya di kala senang, apalagi di kala sulit.

Istri saya juga bertindak sebagai fund manager di keluarga. Kami yang masuk dalam kategori gaji 10an (lewat tgl 10 pusing), sangat membutuhkan "keahlian" finansialnya untuk survive hingga akhir bulan.

Walaupun istri saya menghabiskan hari2nya di rumah, tetapi dia justru lebih "gaul" ketimbang saya. Tidak jarang, saya justru mendapatkan istilah2 baru atau hype dari dia.

Kalau dipikir2, seluruh waktu kita pasti sudah akan tersita oleh pekerjaan rumah seperti beresin kamar, meja makan, pekerjaan dapur, antar jemput sekolah, menyiapkan makanan buat batita kami, memandikan, mendadani, dsb, dsb. Ribet dech. Tapi semua bisa di-handle dengan baik. Bahkan masih sempet four-square, nge-twit, atau kalo dulu game di fb dan tentunya, blogging.

Soal rejeki, memang sudah ada yang ngatur. Dengan berdiam di rumah, bukan berarti dia kehilangan kesempatan untuk mendapatkan rejeki.

Dia pernah iseng2 mendapatkan sebuah project. Simple. Itu pun dilakukan setelah "dipaksa" si-empunya project. Hanya perlu waktu 3 jam (dan dilakukannya di kala saya dan anak2 sedang tertidur). Dia hanya perlu mengorbankan sedikit waktu istirahatnya, untuk mengerjakan copywrite. Alhasil, pendapatannya itu jauh lebih besar dari penghasilan saya selama satu bulan penuh bekerja di instansi BUMN.

Mungkin kembali orang berpikir, kenapa ngga di-serius-in aja?

Mmmmmmhhh.......

Perlu diluruskan kembali kali ya... Rejeki itu ada yang ngatur... Yang pertama dan utama, masih keluarga.

Kalau diseriusin, waktu yang seyogyanya untuk mengurus keluarga jadi tersita, jadi siapa yang mengurus keluarga nantinya?

Istri saya bertekad, selepas anak2 kami dewasa, ia baru ingin mengabdikan pengetahuannya kepada masyarakat yang lebih luas. Menjadi volunteer, merupakan ambisi kami berikutnya. Bahkan, kami sudah berkhayal, sekiranya di masa pensiun nanti, kami bisa menjadi marbot di masjidil haram... Mmmmmmhhh....... Alangkah nikmatnya pekerjaan itu... (Amin)

Saya pernah memenangkan hadiah Superdad, hanya karena saya mampu bekerja secara "seimbang" di kantor dan di rumah. Saya terus berkarir dan mengembangkan kompetensi saya, sementara di rumah, tetap mampu membantu mengurus rumah dan anak2.

Kalau dipikir2, luar biasa anugrah yang saya dapatkan ini. Sungguh luar biasa. Saya sangat beruntung, mendapatkan sosok seorang wanita hebat yang selalu mendampingi saya. Saya sendiri bukan orang yang bisa dengan mudah meng-ekspresi-kan diri.

Tetapi, bila ada lifetime achievement award bagi seorang wanita mulia, saya akan maju pertama untuk mengajukan istri saya sebagai nominasi peraih penghargaan itu.

Selamat ulang tahun istri-ku.

Love you so much.

Thank you for standing-by-me ever since.

1 comment:

  1. how lucky she is to have you as her husband :)

    ReplyDelete

Please feel free to comment....